Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan mengatakan posisi guru besar di Indonesia dianggap sebagai puncak kehormatan di bidang akademik. Sehingga sering orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan gelar tersebut.
Kendati demikian, hal itu malah menjadi bencana dari seorang akademisi ketika iklim akademik belum terbangun dengan baik. “Sehingga yang muncul adalah jalur-jalur yang sifatnya instan,” kata Edi kepada Tempo melalui telepon pada Ahad, 14 Juli 2024.
Edi menjelaskan ada banyak kampus merestui pengangkatan gelar guru besar, meski tidak sesuai prosedur. Menurut dia, kejadian itu terjadi karena berkaitan dengan akreditasi kampus serta dana hibah riset dari pemerintah.
“Apalagi guru besarnya banyak, pasti akreditasinya akan bagus gitu. Jadi itu di satu sisi bagi kampus pasti menguntungkan juga soal akreditasi,” ucapnya.
Menurut Edi, guru besar juga mendapatkan tunjangan kehormatan dibanding dosen biasa dan nominalnya mencapai sekitar Rp 11 juta. Padahal jika dosen hanya sekitar Rp 3 juta sampai Rp 4 juta saja. Hal ini membuat banyak orang berlomba-lomba mendapatkan gelar Profesor tanpa kualitas.
“Jadi memang ke situ, tapi karena iklim-iklim yang belum terbangun baik ya akhirnya banyak yang melakukan kecurangan-kecurangan semacam itu,” tuturnya.
Sebelumnya, hasil investigasi Majalah Tempo Edisi Skandal Guru Besar Abal-Abal 8-14 juli 2024, menemukan deretan nama pejabat publik yang mendapatkan gelar Profesor lewat jalan pintas. Dari deretan nama itu, ada golongan politikus hingga jaksa.
Sejumlah nama pejabat publik yang diduga janggal dalam proses mendapatkan gelar guru besar hingga mekanisme loncat jabatan. Nama-nama itu yakni Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Jaksa Agung Muda bidang intelejen Reda Manthovani, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha periode 2018-2023, Muhammad Afif Hasbullah serta Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco. Bahkan ada temuan penggunaan jurnal predator demi gelar tersebut.
Padahal untuk dosen yang jelas-jelas merupakan tenaga pendidik, memperoleh gelar guru besar dianggap sulit. Edi menilai ada privilege yang dipakai sehingga terkesan tebang pilih. “Nah artinya memang kalau di masyarakat guru besar di Indonesia masih menjadi satu privilege yang ketika orang punya pilar itu akan dianggap sebagai satu capaian begitu ya. Padahal kalau dilihat secara rinci karyanya apa kan juga enggak jelas juga,” ucapnya.
Edi mempertanyakan integritas kampus pemberi gelar tersebut karena secara formal pemberian diajukan oleh mereka. Dia menduga pemberian gelar guru besar kepada politisi ada timbal balik yang ditawarkan baik jabatan politis dan sebagainya.
Adanya obral gelar guru besar ini dinilai sebagai kemunduran di sektor pendidikan. Edi meminta kepada Kementerian Pendidikan Riset dan Teknogi (Kemendikbudristek) untuk membuka data kecurangan-kecurangan itu.
Selain itu, guru besar yang sudah diketahui gelarnya diperoleh dengan cara janggal semestinya bisa segera dicopot, serta orang-orang yang terlibat diberikan sanksi dan dilarang terlibat lagi dalam pemberian gelar guru besar.
Pembenahan masalah ini, menurut Edi, harus dilakukan dari pemerintah, yakni penilaian kampus bukan dihitung dari berapa banyak guru besarnya, tapi dengan integritas ilmiah dan akademik di kampus itu.
“Jadi pemerintah jangan hanya mematok misalnya harus publikasi jurnal sekian. Banyak kampus tanpa dibangun basis keilmuan iklim ilmiah sekedar mematok itu yang terjadi adalah jalan pintas, jurnal predator, lewat pembayar sekian puluh juta macam-macam itu” tuturnya.