Aceh, yang dikenal dengan penerapan hukum syariah secara lokal, menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang hanya memiliki bank-bank syariah. Keputusan ini, meskipun berdasarkan kebijakan daerah, ternyata menimbulkan pro dan kontra, terutama terkait dampaknya terhadap perekonomian dan sektor perbankan di daerah tersebut. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa kebijakan ini sebenarnya dapat merugikan masyarakat dan perekonomian Aceh dalam jangka panjang.
Secara prinsip, bank syariah beroperasi berdasarkan hukum Islam, dengan prinsip yang tidak memperbolehkan adanya riba (bunga) dalam setiap transaksi. Walaupun prinsip ini diterima oleh sebagian masyarakat Aceh yang memiliki mayoritas penduduk Muslim, OJK mengingatkan bahwa keterbatasan pilihan bank dapat menyebabkan ketergantungan terhadap sistem perbankan syariah yang terlalu rigid, terutama dalam menghadapi situasi ekonomi yang dinamis.
Keberadaan hanya satu jenis bank dapat membatasi akses masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan yang lebih beragam. Dalam konteks ini, OJK khawatir bahwa masyarakat Aceh akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh layanan keuangan yang lebih fleksibel, seperti produk bank konvensional yang menyediakan berbagai opsi bagi nasabah.
Selain itu, keterbatasan jenis bank ini juga dapat berdampak pada persaingan pasar. Kurangnya kompetisi antara bank dapat menyebabkan efisiensi berkurang, dan ini bisa berujung pada harga layanan yang lebih tinggi atau kualitas layanan yang menurun. Dalam perekonomian yang sedang berkembang, kompetisi antara bank sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan dan menurunkan biaya bagi nasabah.
Di sisi lain, kebijakan hanya adanya bank syariah juga mempengaruhi perkembangan sektor perbankan secara keseluruhan di Aceh. Bank-bank syariah memiliki keterbatasan dalam segi produk dan layanan dibandingkan dengan bank konvensional. Sebagai contoh, bank syariah umumnya lebih terbatas dalam menawarkan produk-produk investasi dengan return yang beragam. Hal ini menjadikan masyarakat Aceh lebih sedikit memiliki pilihan dalam hal pengelolaan keuangan mereka.
Berdasarkan hal-hal tersebut, OJK mengimbau agar Aceh mempertimbangkan untuk membuka akses terhadap bank konvensional, guna menciptakan keberagaman dalam sektor perbankan. OJK juga menyarankan adanya regulasi yang dapat mengakomodasi prinsip-prinsip syariah tanpa mengesampingkan keberadaan bank-bank konvensional yang memiliki produk dan layanan yang lebih luas. Sebuah kebijakan yang lebih inklusif, katanya, dapat menciptakan keseimbangan antara penerapan syariah dengan keberagaman produk perbankan yang dibutuhkan oleh masyarakat.