
Di era digital saat ini, politik tidak lagi hanya milik parlemen, partai, atau elite penguasa. Generasi Z—kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—membawa semangat baru dalam berpolitik: dinamis, kritis, dan berbasis teknologi. Bagi mereka, media sosial bukan sekadar tempat berbagi cerita, tetapi juga medan pertempuran ide, ruang edukasi, serta sarana mobilisasi massa.
Politik dalam Genggaman: Media Sosial sebagai Panggung Utama
Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan YouTube telah menjadi kanal utama bagi Gen Z untuk menyuarakan pandangan politik mereka. Isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan gender, hak minoritas, dan kebebasan berekspresi sering kali ramai diperbincangkan di ruang digital. Konten politik kini dikemas dalam bentuk yang lebih ringan dan mudah dicerna: video pendek, meme, podcast, hingga thread informatif.
Fenomena seperti tagar #ReformasiDikorupsi, #BlackLivesMatter, atau #SaveSatuData adalah contoh nyata bagaimana Gen Z dapat menciptakan gelombang besar hanya dari layar smartphone mereka. Mereka tidak segan-segan untuk mengkritik pemerintah, menggugat ketimpangan sosial, atau menantang status quo dengan keberanian yang tak jarang mengejutkan generasi sebelumnya.
Dari Dunia Maya ke Aksi Nyata
Meski sering dianggap “cuma bisa teriak di internet”, faktanya banyak anak muda Gen Z yang melangkah lebih jauh. Mereka turun ke jalan, ikut demonstrasi, menggalang dana untuk korban ketidakadilan, bahkan membentuk komunitas dan gerakan sosial.
Contohnya, gerakan sosial seperti Bersihkan Indonesia yang digerakkan oleh koalisi anak muda, atau aksi solidaritas terhadap korban kekerasan seksual yang dilakukan lewat komunitas berbasis kampus dan sekolah. Aktivisme mereka tidak berhenti di like dan share, tetapi menjelma menjadi aksi kolektif yang konkret dan berdampak.
Politik Gaya Baru: Anti-Formalitas dan Anti-Hipokrisi
Berbeda dari generasi sebelumnya yang lebih segan terhadap struktur dan hierarki politik, Gen Z justru cenderung anti-formalitas. Mereka lebih menyukai komunikasi yang lugas, transparan, dan apa adanya. Gaya ini membuat mereka mudah menangkap ketidaktulusan atau politik pencitraan. Tak heran, banyak politisi yang “terbakar” karena blunder di media sosial, sementara figur otentik yang dekat dengan publik justru digandrungi.
Kepercayaan terhadap lembaga politik konvensional pun menurun. Gen Z lebih percaya pada gerakan akar rumput, tokoh independen, dan organisasi non-pemerintah yang dinilai lebih jujur dan inklusif.
Tantangan dan Harapan
Namun, politik ala Gen Z juga menghadapi tantangan. Misinformasi dan polarisasi opini sangat mudah menyebar di media sosial. Selain itu, tidak semua aktivisme digital berhasil diterjemahkan menjadi aksi nyata. Ada kalanya semangat cepat membara tapi mudah padam ketika isu kehilangan momentum atau tak kunjung membawa hasil konkret.
Meski begitu, semangat mereka membawa harapan besar. Gen Z adalah generasi yang tak mau tinggal diam, yang percaya bahwa satu suara pun bisa memicu perubahan. Dengan literasi digital yang terus meningkat dan keterlibatan politik yang makin matang, mereka bukan lagi penonton, melainkan pelaku utama dalam panggung demokrasi modern.
Penutup
Politik ala Generasi Z adalah cerminan zaman yang berubah cepat. Mereka tidak hanya me-retweet atau me-repost, tapi juga bergerak. Dari layar ke jalanan, dari opini ke aksi. Dunia politik tak lagi bisa menyepelekan suara mereka—karena masa depan ada di tangan yang kini sedang mengetik, merekam, dan beraksi.