
Pada tahun 1888, terjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, khususnya di wilayah Banten, yang dikenal dengan nama Geger Cilegon. Peristiwa ini merupakan aksi perlawanan besar-besaran oleh petani dan rakyat Banten yang merasa terjajah dan teraniaya oleh pemerintahan kolonial Belanda. Aksi ini bukan hanya sekadar pemberontakan fisik, melainkan juga sebuah tuntutan atas hilangnya sifat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh sebuah pemerintahan.
Latar Belakang Perlawanan
Pada masa kolonial Belanda, rakyat Banten mengalami penindasan yang berat, terutama dalam bentuk sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan pungutan pajak yang mencekik. Petani-petani di Banten kehilangan hak-hak dasar mereka atas tanah dan hasil pertanian. Selain itu, nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan beragama dan kehidupan yang layak sangat terabaikan. Sistem kolonial memperlakukan rakyat pribumi sebagai objek eksploitasi tanpa memperhatikan hak dan martabat manusia.
Dalam konteks ini, muncul ketidakpuasan yang mendalam dari masyarakat Banten, terutama para petani yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah. Ketidakadilan yang terjadi bukan hanya menyangkut materi, tetapi juga pelecehan terhadap martabat kemanusiaan yang membuat rakyat merasa terpinggirkan dan hilang hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Peristiwa Geger Cilegon
Dipicu oleh penderitaan yang tidak tertahankan, pada Juli 1888 rakyat Banten di wilayah Cilegon menggelar perlawanan yang dikenal dengan nama Geger Cilegon. Perlawanan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat dan ulama yang menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Para petani dan masyarakat mengorganisasi diri untuk menyerang pos-pos pemerintah kolonial, membakar kantor-kantor administrasi, dan menuntut keadilan sosial.
Aksi ini menjadi simbol penting bahwa rakyat Banten menolak diperlakukan tidak manusiawi dan menuntut pengakuan atas hak-hak mereka sebagai manusia yang merdeka. Meskipun akhirnya perlawanan ini berhasil dipadamkan oleh kekuatan militer Belanda, semangat perlawanan rakyat Banten tetap hidup dan menginspirasi perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa mendatang.
Hilangnya Sifat Kemanusiaan pada Era Kolonial
Perlawanan Geger Cilegon adalah cermin dari sebuah krisis kemanusiaan yang terjadi pada masa kolonial. Sistem penjajahan yang tidak memperhatikan hak-hak dasar manusia—seperti kebebasan, keadilan, dan martabat—menjadi akar konflik yang melahirkan perlawanan rakyat. Penjajah tidak hanya merampas kekayaan alam dan ekonomi rakyat, tetapi juga merampas hak hidup manusia secara layak.
Hilangnya sifat kemanusiaan ini menimbulkan luka mendalam yang tidak hanya berdampak pada kehidupan materiil, tetapi juga psikologis dan sosial masyarakat Banten. Perjuangan petani pada Geger Cilegon adalah usaha keras untuk mengembalikan kemanusiaan mereka yang telah direnggut oleh sistem kolonial.
Warisan dan Pesan untuk Masa Kini
Geger Cilegon mengajarkan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan adalah bagian penting dari mempertahankan kemanusiaan. Meskipun zaman telah berubah, nilai-nilai perjuangan untuk keadilan, hak asasi, dan martabat manusia tetap relevan hingga kini.
Sebagai bangsa yang pernah dijajah, mengenang perlawanan petani Banten ini menjadi pengingat bahwa keadilan dan kemanusiaan harus selalu dijaga dan diperjuangkan. Geger Cilegon bukan hanya kisah sejarah, tetapi juga inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah menyerah melawan penindasan dalam bentuk apapun.