
Mahasiswa kerap disebut sebagai “agent of change” karena perannya yang signifikan dalam dinamika sosial-politik Indonesia. Sejak era kolonial hingga masa reformasi dan pasca-reformasi, aksi kolektif mahasiswa telah menjadi motor penggerak perubahan yang mampu menggugah kesadaran publik dan menekan kekuasaan untuk bertindak sesuai aspirasi rakyat. Dalam konteks demokrasi yang dinamis, peran mahasiswa tak hanya relevan, tetapi juga vital dalam menjaga integritas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah Panjang Aksi Mahasiswa
Sejarah mencatat bahwa peran mahasiswa dalam perubahan sosial-politik Indonesia dimulai jauh sebelum kemerdekaan. Organisasi pemuda dan mahasiswa seperti Perhimpunan Indonesia dan Boedi Oetomo memainkan peran penting dalam membangun kesadaran nasional. Aksi monumental mahasiswa terjadi pada 1966 ketika mereka menuntut pembubaran PKI dan pengunduran diri Presiden Soekarno, yang menjadi awal tumbangnya Orde Lama.
Pada 1998, mahasiswa kembali menjadi garda depan dalam menumbangkan rezim Orde Baru. Demonstrasi yang melibatkan ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta otoritarianisme yang sudah mengakar.
Dinamika Aksi Kolektif di Era Reformasi
Pasca-reformasi, karakter aksi kolektif mahasiswa mengalami transformasi. Jika dahulu lebih terfokus pada pergantian rezim, kini aksi mereka sering berfokus pada isu-isu sektoral seperti keadilan lingkungan, hak asasi manusia, pendidikan, dan kebijakan ekonomi. Misalnya, aksi penolakan Omnibus Law pada 2020 menunjukkan bahwa mahasiswa masih memiliki sensitivitas tinggi terhadap kebijakan yang dinilai merugikan rakyat kecil.
Namun, tantangan muncul dari fragmentasi gerakan mahasiswa itu sendiri. Polarisasi politik, kepentingan pragmatis, dan intervensi elite seringkali melemahkan kekuatan kolektif mahasiswa. Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi menjadi pedang bermata dua: mempercepat mobilisasi, tetapi juga menghadirkan disinformasi dan polarisasi.
Mahasiswa sebagai Moral Force dan Social Pressure
Kekuatan mahasiswa bukan terletak pada senjata atau kekuasaan, melainkan pada legitimasi moral dan kapasitas mobilisasi yang relatif independen. Aksi mereka sering kali dilandasi oleh idealisme dan semangat memperjuangkan keadilan sosial. Ini yang menjadikan mereka sebagai pilar moral dalam demokrasi.
Gerakan mahasiswa juga berfungsi sebagai social pressure—tekanan sosial yang mampu menggugah respons dari pemerintah atau lembaga terkait. Dalam berbagai kasus, tekanan mahasiswa berhasil membuka ruang dialog, mengawal kebijakan publik, bahkan mendorong pembentukan panitia khusus atau perubahan regulasi.
Menatap Masa Depan: Tantangan dan Harapan
Ke depan, tantangan terbesar bagi aksi kolektif mahasiswa adalah menjaga independensi, memperkuat kapasitas intelektual, dan membangun solidaritas lintas isu dan kelompok. Mahasiswa perlu memperbarui pendekatan gerakannya dengan memadukan aksi massa dan advokasi berbasis data. Selain itu, kolaborasi dengan masyarakat sipil, akademisi, dan media menjadi penting untuk memperluas pengaruh dan daya tekan.
Aksi kolektif mahasiswa bukan semata bentuk perlawanan, tetapi manifestasi cinta tanah air yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih adil dan manusiawi. Dalam setiap era, selama masih ada ketimpangan, ketidakadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan, mahasiswa akan terus hadir sebagai garda terdepan perlawanan dan harapan.