
Di era digital, media sosial telah menjadi alat yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dan menyebarkan informasi. Di garis depan perubahan ini adalah Generasi Z—kelompok usia muda yang lahir sekitar tahun 1997 hingga 2012—yang memanfaatkan platform seperti Instagram, Twitter (X), TikTok, dan YouTube tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk membentuk dan menggerakkan kesadaran sosial serta politik.
Peran Influencer dalam Gerakan Sosial
Influencer, atau figur publik dengan jumlah pengikut besar di media sosial, memainkan peran penting dalam menyebarkan pesan-pesan sosial dan politik. Bagi Gen Z, influencer bukan hanya selebritas; mereka adalah figur panutan yang dipercaya karena dianggap otentik dan dekat secara emosional.
Saat gerakan sosial seperti #BlackLivesMatter, #MeToo, atau #ClimateStrike menjadi sorotan global, banyak influencer Gen Z menggunakan platform mereka untuk mendukung aksi-aksi ini. Mereka membagikan informasi, mengedukasi audiens mereka tentang isu-isu sosial, dan mengajak pengikut untuk ikut serta dalam kampanye, petisi, dan aksi nyata.
Buzzer: Aktivisme atau Propaganda?
Berbeda dengan influencer yang membangun audiens secara organik, buzzer sering kali bekerja secara sistematis, bahkan dibayar, untuk menyebarkan pesan tertentu—baik dalam konteks promosi produk, kampanye politik, atau pembentukan opini publik.
Generasi Z cenderung lebih peka terhadap manipulasi informasi. Mereka mampu membedakan antara kampanye otentik dan upaya propaganda digital. Namun, keberadaan buzzer masih menjadi dilema, terutama ketika mereka mempengaruhi wacana publik tanpa transparansi. Dalam konteks politik, buzzer bisa memperkuat atau menghancurkan reputasi tokoh dalam hitungan jam.
Media Sosial sebagai Alat Perubahan
Generasi Z menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi alat perubahan yang efektif. Dalam kasus gerakan #ReformasiDikorupsi di Indonesia atau protes terhadap undang-undang kontroversial, banyak aksi massa dimobilisasi melalui unggahan viral, thread edukatif, dan kampanye digital.
Kekuatan Gen Z terletak pada kemampuannya mengorganisasi secara horizontal, tanpa perlu struktur formal. Hashtag, video pendek, dan meme menjadi senjata utama dalam menarik perhatian publik dan memicu diskusi luas.
Tantangan: Polarisasi dan Disinformasi
Meskipun berdaya, media sosial bukan tanpa risiko. Polarisasi opini dan penyebaran disinformasi menjadi ancaman nyata. Generasi Z, yang sangat aktif online, juga rentan terhadap echo chamber—lingkungan digital yang hanya memperkuat pandangan pribadi tanpa tantangan dari perspektif lain.
Untuk itu, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Kemampuan untuk memverifikasi informasi, mengenali bias, dan berpikir kritis sangat penting agar penggunaan media sosial benar-benar berdampak positif.
Kesimpulan
Influencer dan buzzer adalah dua aktor penting dalam ekosistem digital yang digunakan Generasi Z untuk bergerak secara sosial dan politis. Dalam tangan yang tepat, media sosial bisa menjadi alat pembebasan, edukasi, dan solidaritas. Namun, dalam konteks yang salah, ia juga bisa menjadi alat manipulasi dan polarisasi.
Generasi Z tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pembentuk arah masa depan demokrasi digital. Dengan kesadaran kritis dan kreativitas tinggi, mereka terus membuktikan bahwa suara anak muda memiliki kekuatan yang nyata dalam mengubah dunia.